Terkait Impor Barang Bekas Ilegal MenkopUKM Terus Berupaya Temukan Solusi Terbaik 

TrijayaNews.id, Jakarta – Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masuki terus berupaya menemukan solusi terbaik, guna menangani praktik impor pakaian bekas ilegal di Indonesia yang berpotensi merugikan pelaku usaha khususnya UMKM.

Koordinasi dengan para pemangku kepentingan terus dilakukan MenkopUKM untuk mencari solusi. Tujuannya agar keran impor pakaian bekas ilegal dapat segera ditutup guna melindungi industri dan UMKM tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki dalam negeri.

Di sisi lain menyiapkan jalan keluar bagi para penjual pakaian bekas impor ilegal, yang terdampak agar bisa segera beralih ke usaha yang baru. Untuk itu pihaknya mengundang para distributor, pedagang, bahkan pelaku thrifting pakaian bekas.

“Secara bersamaan kami juga mengundang para pelaku usaha yang memiliki brand-brand produk lokal,” ungkapnya, saat melakukan pertemuan dan diskusi dengan beberapa stakeholder terkait pelarangan impor pakaian bekas, di Jakarta, Rabu (29/3).

Pada pertemuan itu hadir Staf Khusus MenKopUKM Bidang Ekonomi Kreatif Fiki Satari, Direktur Utama LLP-KUKM Leonard Theosabrata, dan Direktur Pemberitaan MNC Prabu Revolusi hingga para influencer.

Teten dalam pertemuan itu juga berharap mendapat masukan dari berbagai pihak agar dapat menemukan solusi terbaik. Selain itu ia juga menegaskan, bagi para pedagang yang sudah terlanjur mengambil dan menjual pakaian bekas impor ilegal masih diberikan kelonggaran untuk menjual sisa dagangannya.

Namun dipastikan KemenkopUKM bersama Kementerian Perdagangan akan menindak tegas kegiatan impor pakaian bekas ilegal, jika masih terus berlangsung. “Bagi para reseller dan para pengecer pakaian bekas, saya dan Mendag sepakat memberikan kelonggaran sehingga tidak kita tindak,” jelasnya.

Kata Teten, saat ini KemenkopUKM sedang menyiapkan skema solusi penyelesaian bagi para penjual pakaian bekas impor ilegal, mulai dari membuka hotline pengaduan hingga meyiapkan produk subtisusi lokal serta akses pembiayannya.

Tetapi di sisi lain, ia menjelaskan hingga saat ini masih ada perbedaan persepsi pelarangan impor pakaian bekas ilegal antara pemerintah dengan masyarakat. “Jadi betul-betul salah kaprah, seolah-olah yang dilarang oleh pemerintah itu sub-culture thriftingnya, padahal kita sedang melawan penyelundupan pakaian bekas dari luar yang masuk ke dalam negeri secara ilegal,” jelasnya lagi.

Untuk itu kata Teten, hal ini harus ditangani secara serius. Sebab, sejak 1998 dampak dari impor pakaian bekas ilegal sudah memukul para produsen UMKM di sektor fesyen dalam negeri. Oleh karena itu ia berharap, hal yang diupayakan kini bukan hanya sekadar gertak sambal.

“Hampir 70% market kita diisi oleh unrecorded impor (termasuk impor ilegal pakaian dan alas kaki) yang mencapai 31% total pasar domestik, dan sekitar 43% diisi oleh produk impor legal,” tandasnya.

Pendapat dari para stakeholder

Adapun salah satu pengusaha dan influencer Jeffry Jouw menyatakan, sepakat dengan kebijakan pemerintah terkait pelarangan impor barang bekas ilegal. “Thrifting itu legal, membeli barang second itu tidak apa-apa, menjual barang second itu tidak apa-apa, tapi memasukan barang second secara ilegal dari luar negeri itu dilarang dan saya setuju,” katanya.

Sementara itu Presiden Gen Z sekaligus influencer Rian Fahardhi, sebagai salah salah satu perwakilan generasi muda menilai praktik barang bekas impor memiliki dampak merugikan untuk masa depan anak-anak muda saat ini.

“Praktik impor barang bekas itu sendiri pada akhirnya akan jadi sampah yang tentunya akan berdampak untuk masa depan kita terutama untuk anak muda seperti saya,” ucap Rian.

Sejalan dengan hal tersebut, Handoko sebagai aktivis jenama menanggapi impor pakaian bekas ilegal sebagai sesuatu hal yang berpotensi menganggu ekosistem harapan anak muda terhadap jenama lokal.

 

Jenama-jenama ini akan tumbuh apabila ada kesadaran dari konsumen terhadap sourcing dan traceability. “Apa yang kita beli harus memberikan kebermanfaatan yang bermakna dan jangan lupa dengan penjenamaan atau branding itu sendiri,” kata Handoko.

Di sisi lain, Arto Biantoro salah satu penggiat jenama lokal mengatakan isu sesungguhnya bukan isu thrifting namun tentang sampah bekas yang dikirim berton-ton ke negara ini yang harus ditindaklanjuti dengan serius. “Sampah tadi digunakan sebagai alat untuk berjualan dan itu sebenernya yang mematikan industrinya, jadi sekali lagi isu ini memang harus di tindaklanjuti dengan serius,” tegas Arto. (*).