TrijayaNews.id, Bogor – Koperasi sebagai pilar ketiga dalam tatanan ekonomi di Indonesia, yakni BUMN, Swasta dan Koperasi, jelas pengelolaannya tidak boleh asal-asalan. Tapi faktanya masih jauh tertinggal, meskipun banyak formula dilakukan kondisi koperasi hingga usianya ke 76 tahun, pilar ketiga ekonomi ini masih menjadi anak stunting.
Kondisi ini pun tidak disanggah Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM). Menurut Asisten Depuiti (Asdep) Pengambangan Sumber Daya Manusia Perkoperasian dan Jabatan Fungsional KemenkopUKM, Nasrun Siagaian, mengakui permasalahan koperasi di tanah air memang kompleks. Hal itu terungkap dalam diskusi dengan Forum Wartawan Koperasi (Forwakop), bertemakan “Penyusunan Rencana dan Program SDM Pengawas Koperasi,” di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (08/7).
Tak dipungkiri, beberapa kasus koperasi bermasalah, membuat pengembangan koperasi semakin sulit, karena kepercayaan masyarakat terhadap koperasi menurun atau negatif. “Tentu saja adanya kompleksitas ini, terkait pengemabangan koperasi harus disikapi dan dijawab dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) khususnya pengawasan koperasi,” ujarnya.
Nasrun menambahkan, upaya peningkatan kompetenai pengawas koperasi tak lain adalah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Menurutnya, agar masyarakat semakin percaya terhadap koperasi. Harus meminimalisir permasalahan yang akan terjadi. Untuk itu kata dia, peningkatan kompetensi SDM Pengawas mutlak diperlukan dan terus diperkuat. “Karena itu metodenya kedepan, kita tidak lagi melakukan pelatihan-pelatihan di kelas, tetapi secara konfrehensif diaplikasikan dalam beberapa kegiatan,” tandasnya.
Masih menurut Nasrun, misalnya koperasi rintisan yang mengedepankan literasi dan pelatihan dasar-dasar pengawasan koperasi. Termasuk pada koperasi yang mulai tumbuh akan ditempatkan tenaga pendamping. Intinya, tidak lagi dilakukan pelatihan-pelatihan di kelas secara terus-menerus. Sehingga tenaga pendamping dapat membantu mengawasi secara langsung operasional koperasi tersebut.
Lanjut Nasrun, yang menjadi tenaga pendamping ada juga tenaga ahli. Minimal mereka akan menjalankan tugasnya selama empat bulan, bahkan dimungkinkan enam bulan atau sampai koperasi tersebut benar-benar jadi, bertumbuh secara baik dan sehat. Selanjutnya KemenkopUKM imbuh Nasrun, akan mensupport apa yang dibutuhkan koperasi tersebut. Termasuk bantuan modal bagi pengembangan usaha koperasi.
Pihaknya juga telah memberikan kesempatan kepada para pengurus koperasi magang, salah satunya di KUD Mina Soroyo, Cilacap, Jawa Tengah, yang ternyata kata Nasrun sambutannya sangat antusias.
“Kami juga akan melakukan BootCamp bagi manager-manager koperasi. Harapannya, agar mereka menjadi leadership yang baik, dan mampu membuat business plan yang terukur. Intinya, di KemenkopUKM saat ini, model pelatihan-pelatihan di kelas itu sudah sangat sedikit, tapi melakukan coaching, pendampingan-pendampingan, dan magang,” paparnya.
Kampus Merdeka dan Kurikulum
Menurut Nasrun, kini KemenkopUKM juga sedang berusaha mengubah paradigma, dengan membuat platform Kampus Merdeka. Tujuannya adalah agar banyak menampung minat peserta yang ingin memperoleh ilmu dan ketrampilan.
Walaupun tidak seperti kampus umumnya, tetapi materi-materi yang disajikan seperti akuntansi, digitalisasi dan ekspor sangat diminati. “Ternyata antusiasme mereka dalam mengikuti belajar di Kampus Merdeka ini,” katanya.
Nah, terkait adanya keinginan masyarakat perkoperasian yang memandang kurang adil, jika Koperasi sebagai pilar ketiga ekonomi nasioanl, kalah dari dua lainnya, karena ilmu-ilmu koperasi didak diajarkan permanen di sekolah-sekolah hingga kampus. Kalau toh itu ada, statusnya hanya kategorinya Mulog (muatan Lokal).
Menanggapi hal ini, Nasrun pun sudah beberapa kali mengharapkan hal demikian terjadi, dengan mengajak pihak lain agar pelajaran Perkoperasian masuk kurikulum di Kementerian Pendidikan.
“Itu merupakan harapan kami agar pendidikan dan nilai-nilai perkoperasian dapat masuk kurikulum nasional. Seyogyanya, dari awal harus kita tanamkan agar koperasi sebagai pilar ekonomi jangan sekedar slogan,” tandasnya.
Untuk ke arah sana, menurut Nasrun, pihaknya telah membicarakan pendidikan perkoperasian dengan Kemenko PMK dalam beberapa kesempatan.
Mengakhiri diskusi, karena nilai-nilai tidak mengakar di hati masyarakat karena memahami sejak di bangku sekolah, sehingga terkait tumbuh dan berkembangnya koperasi masih tak lepas dari figur atau ketokohan dan sistem koperasi itu tersendiri.
Tetapi untuk terkait figur ini dengan adanya Permenkop No 8/2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi dalam rangka meningkatkan tata kelola atau good corporate governance dalam bisnis koperasi. Diperlukan standar operasional manajemen, standar operasional prosedur dan bagaimana proses-prosenya di dalam ini harus ada semua itu termasuk semenda.
Artinya imbuh Nasrun, mau tidak mau figur ini harus ‘mengorbankan” keluarganya. Bagusnya orang yang harus sudah selesai dengan dunianya dulu. Maksudnya, secara ekonomi sudah mapan, sehingga benar-benar fokus untuk mengembangkan koperasi.**