JAKARTA, TrijayaNews.id – Seorang perempuan lanjut usia yakni Tuty Suryani, berusia 80 tahun dan putrinya Tien Budiman mengharapkan adanya keadilan. Sebab, dirinya sebagai debitur merasa telah tertipu ketika mengajukan pinjaman terhadap PT. Indosurya Inti Finance (IIF) sebesar belasan miliar rupiah.
Kronologi kasus ini berawal saat korban Tuty Suryani, perempuan lanjut usia (berusia 80 tahun), pada Juli 2017 lalu, memberikan jaminan atas dua sertifikat tanah HGB miliknya terkait Perjanjian Kredit antara Tien Budiman (putrinya) dengan PT. Indosurya Inti Finance. Tujuan pengajuan kredit tersebut bertujuan sebagai program peningkatan fasilitas Hotel Surya Baru.
Dengan total pinjaman disepakati senilai Rp 12.265.000.000. Namun, realisasi pinjaman diterima korban Rp 8.141.835.450. Total potongan mencapai Rp 4.123.164.550.
Karena pinjaman diterima hanya Rp 8.141.835.450, maka target peningkatan fasilitas hotel tak terpenuhi, hotel pun berhenti beroperasi.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, cicilan kredit tersebut membengkak. Tak hanya itu, surat hotel miliknya (korban) yang telah dijaminkan pada pihak Indosurya pun dijual hak tagihanya secara sepihak. Dijual hak tagihanya oleh pihak Indosurya kepada seseorang yang tidak jelas identitasnya. Sebab, ketika ditelusuri orang yang membeli hotel tersebut tidak jelas pada alamat dan identitasnya.
Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, pada 5 Desember 2019, PT. Indosurya menjual hak tagihnya (cessie) kepada Ade Ernawati, yang identitas dan alamatnya tidak jelas. Informasi yang dihimpun, Ade Ernawati mengajukan lelang atas obyek jaminan dengan harga Rp 21,8 miliar.
Seperti diketahui apabila mengacu pada Laporan Kantor Jasa Penilai Publik Andreas Parlidungan Siregar No. 00190/3.0068-00/PI 12/0373/0XI/2020 tanggal 16 November 2020. Nilai obyek lelang mencapai Rp 83.358.300.000 (delapan puluh tiga milyar tiga ratus lima puluh delapan juta tiga ratus ribu rupiah).
“Dalam hal ini saya merasa tertipu. Karena jika ditotal, Nilai obyek lelang hotel miliknya mencapai lebih dari Rp 83 miliar, mengacu pada Laporan Kantor Jasa Penilai Publik Andreas Parlidungan Siregar No. 00190/3.0068-00/PI 12/0373/0XI/2020 tanggal 16 November 2020,” keluh Tien Budiman di Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Kendati hotel tidak beropersi, namun pada kurun waktu Februari 2018 s/d April 2019, korban Tien Budiman sudah memenuhi pembayaran cicilan Rp 4.400.068.755.
Selama 6 bulan (Mei 2019-Nov 2019), Tien kesulitan membayar angsuran perbulan sebesar Rp 293.337.913. Pada Oktober dan November 2019, Tien hendak melunasi pinjamannya, tapi pihak kreditur tidak memberikan rincian utang tersebut.
Atas kasus yang dialaminya, perempuan lanjut usia Tuty Suryani kini sakit-sakitan dan melakukan aktivitasnya dengan kursi roda. Atas kejadian itu pula, korban telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan pada hari ini Jumat (20/11/2020), korban mendatangi kantor DPR RI untuk mendapatkan keadilan itu. (*)
KRONOLOGI :
Pada 27 Juli 2017, Tien Budiman (debitur) dan PT. Indosurya Inti Finance (kreditur) menandatangani 2 (dua) Perjanjian Kredit (PK) untuk fasilitas pembiayaan Hotel Surya yaitu PK No. 106 senilai Rp 5.000.000.000 dan PK No. 107 senilai Rp 4 000.000.000.
Jaminan PK, tanah dan bangunan SHGB : 2312 dan 2336/ Kebon Kelapa seluas 1.233 m2 terletak di Jl. Batu Ceper, No. 11 dan 11 A, Jakarta Pusat atas nama Tuty Suryani.
Dari total pinjaman sesuai PK No. 106 senilai Rp 5.000.000.000, yang diterima debitur hanya Rp 3.466.949.960, setelah dipotong PT. Indosurya untuk biaya asuransi jiwa Rp 36.500.000, asuransi kebakaran 1 Rp 7.550.000, biaya administrasi Rp 50.000.000, provisi Rp 200.000.000, hold angsuran 6x Rp 900.000.000, hold ass premi 2x Rp 73.000.000, hold TBO Rp 165.000.000, dan Notaris Rp 101.000.000.
Dari total pinjaman PK No. 107 sebesar Rp 4.000.000.000, yang diterima debitur sebesar Rp 3.273.249.949. Setelah dipotong biaya asuransi jiwa Rp 29.200.000, asuransi kebakaran 1 Rp 7.550.000, biaya administrasi Rp 40.000.000, provisi Rp 240.000.000 dan hold angsuran 3x Rp 410.000.000.
Kemudian pada 30 Januari 2018 dibuat addendum PK menggabungkan dua PK tgl 27-07-2017 dan menambah plafond pinjaman. Sehingga total pinjaman menjadi Rp 12.265.000.000. Seharusnya, ada tambahan plafond sebesar Rp 3.265.000.000, namun debitur hanya menerima Rp 1.401.635.450. Total biaya dipotong berdasarkan addendum PK tanggal 30 Januari 2018, sebagai berikut : biaya Notaris Rp 23.997.500, biaya asuransi jiwa Rp 419.708.300, biaya asuransi kebakaran Rp 57.753.000, biaya administrasi Rp 122.650.000, biaya provisi Rp 490.600.000, hold angsuran 3x Rp 880.013.713, hold premi risk Rp 245.300.000, pelunasan fasilitas Rp 3.623.341.999, serta pelunasan fasilitas Rp 5.000.000.000.
Diakumulasi dari seluruh pinjaman senilai Rp 12.265.000.000, yang diterima debitur hanya Rp 8.141.835.450. Dengan total potongan mencapai Rp 4.123.164.550.
Pada kurun waktu Februari 2018 s/d April 2019, debitur telah membayar cicilan selama 15 kali @ Rp 293.337.913/bulan sebesar Rp 4.400.068.755.
Karena pinjaman yang dicairkan hanya Rp 8.141.835.450, mengakibatkan program peningkatan fasilitas Hotel Surya tak terlaksana. Dampaknya Hotel Surya Baru tidak beroperasi hingga kini, debitur pun mengalami kesulitan dalam membayarkan cicilan.
Pada November 2019, debitur mengajukan surat dan berkomunikasi melalui WhatsApp. Pada pokoknya, hendak melunasi seluruh kewajiban. Untuk itu, dia meminta rincian kewajibannya kepada kreditur. Namun, rincian itu tidak diberikan. Pertemuan yang diminta debitur juga selalu ditunda kreditur, dengan berbagai alasan.
Tanpa sepengetahuan debitur dan penjamin Tuty Suryani, pada 5 Desember 2019 lalu, kreditur telah menjual hak tagih piutangnya (cessie) kepada Ade Ernawati. Tanpa ada pemberitahuan kepada debitur maupun Tuty.
Pada Januari 2020, debitur menerima surat pemberitahuan dari Ade Ernawati beralamat di Jl. Salabintana, RT 013/003, Kel. Warnasari, Kec. Sukabumi. Setelah ditelusuri, Ketua RT setempat mengungkapkan, sudah 2 tahun Ade Ernawati tidak tinggal di sana. Bahkan, rumah yang pernah ditempati Ade Ernawati ternyata telah dijual kepada pihak lain. Hal itu terkonfirmasi dari surat debitur yang dikembalikan karena identitas Ade Ernawati tidak dikenal di tempat itu.
Selain itu, kontak HP : 0818-752-006 yang tertera dalam surat Ade Ernawati, setelah dihubungi, nomor tersebut ternyata no HP orang lain mengaku bernama Yali Lukman beralamat di Taman Anggrek Residence, Jl. Tanjung Duren Timur 2. Dalam info property juga tercantum kontak HP yang sama dengan no HP yang dicantumkan Ade Ernawati dalam surat itu.
Bahkan tanpa ada pemberitahuan kepada debitur maupun penjamin, Ade Ernawati mengajukan lelang atas tanah dan bangunan milik Tuty Suryani kepada KPKNL Jakarta V dengan harga sangat rendah yaitu Rp. 21.800.000.000. Padahal mengacu pada Laporan Kantor Jasa Penilai Publik Andres Parlidungan Siregar tanggal 16 November 2020 nilai obyek lelang tersebut sebesar Rp 83.358.300.000 dan NJOP tahun 2020 lebih dari Rp 62.000.000.000.
Usai membaca pengumuman lelang KPKNL Jakarta V, Tuty Suryani selaku penjamin mengajukan gugatan terhadap PT. Indosurya Inti Finance, Ade Ernawati, Notaris, KPKNL Jakarta V, BPN Jakarta Pusat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, teregister dalam perkara No. 633/Pdt.G/2020/PN. Jkt.Pst tanggal 2 November 2020.
Perkara tersebut pun disampaikan dengan pemberitahuan resmi kepada KPKNL Jakarta V, dengan tujuan agar proses lelang tersebut dihentikan/ dibatalkan.
Sebelumnya, tanggal 20 Oktober 2020, debitur telah menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPKNL Jakarta V. Pada pokoknya, memohon agar proses lelang dihentikan/ditunda. Sebab, salah satu bidang tanah tersebut telah disita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Penetapan No. 80/2019.Eks.
Kendati ada gugatan dari pemilik SHGB yang menjadi obyek lelang, dan sudah ada Penetapan Sita Eksekusi No. 80/2019, Eks. Namun pada 5 November 2020, KPKNL Jakarta V tetap melaksanakan lelang atas ke-2 bidang tanah itu. Informasi dari KPKNL Jakarta V menyampaikan bahwa peserta lelang hanya satu orang atas nama Anna Lukman.
KEJANGGALAN DALAM PROSES PENJUALAN CESSIE & PROSES LELANG:
Dari kronologi di atas, ada beberapa kejanggalan. Baik dalam proses Perjanjian Kredit, penjualan hak tagih (cessie) maupun proses lelang atas Hotel Surya Baru yang diselenggarakan oleh KPKNL JAKARTA V. Berikut kejanggalan – kejanggalan tersebut, total nilai pinjaman Rp 12.265.000.000, yang dicairkan hanya Rp 8.141.835.450.
Sebelum Perjanjian Kredit ditandatangani, PT IIF (kreditur) tidak memberitahu debitur secara rinci tentang jenis-jenis biaya dan besaran masing-masing yang ditotal mencapai Rp 2.110.068.755.
Jumlah dana yang harus di hold untuk angsuran seluruhnya mencapai Rp 2.190.000.000. Debitur pun mempersoalkan masalah potongan biaya-biaya dan hold angsuran tersebut. Tetapi PT. IIF menyatakan bahwa potongan sesuai dengan aturan PT.IIF. Adapun total biaya dan hold angsuran (potongan) mencapai Rp 4.123.164.550 (kurang lebih 33% total pinjaman), (proses penjualan cessie tidak transparan).
Pertemuan yang diminta debitur pun belum dilaksanakan, tiba-tiba pengalihan hak tagih (cessie) dari PT IIF kepada Ade Ernawati pada tanggal 5 Desember 2019, tanpa ada pemberitahuan kepada debitur dan penjamin (Tuty Suryani). Sebelumnya, debitur sudah memberitahukan secara resmi untuk melunasi kewajibannya yaitu November 2019.
PT. IIF diduga menutup-nutupi adanya cessie, dibuktikan dengan sikap PT. IIF yang tidak memberitahukan lebih dahulu kepada debitur dan penjamin. Padahal debitur menunggu kepastian rincian kewajiban untuk segera diselesaikan.
PT. IIF memberitahu debitur prihal adanya cessie tersebut setelah debitur melayangkan surat tanggal 3 Februari 2020 perihal pelunasan utangnya. Namun, jawaban PT. IIF dalam suratnya tertanggal 6 Februari 2020, justru berisi pemberitahuan bahwa hak tagihnya sudah dialihkan kepada Ade Ernawati.
Sesuai Peraturan POJK No. 35 / 2018, salah satu kewajiban kreditur kepada debitur adalah menyampaikan rincian kewajibannya, namun hal ini tidak dilakukan oleh PT. IIF.
Proses pengajuan lelang pun tertutup. Apabila ada itikad baik, seharusnya Ade Ernawati memberitahu debitur/penjamin, sebelum pengajuan lelang itu diajukan kepada KPKNL Jakarta V.
Pemberitahuan itu, mutlak diperlukan karena pengajuan lelang berkaitan dengan obyek lelang yang masih ditempati/dikuasai Tuty Suryani sebagai pemilik.
Pelaksanaan lelang yang terindikasi melanggar hukum. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Lelang disebutkan bahwa KPKNL sebagai pejabat lelang dapat menghentikan/membatalkan lelang sebelum pelaksanaan lelang dalam hal ada gugatan pihak ketiga.
Pada 20 Oktober 2020, debitur sudah memberitahu KPKNL Jakarta V bahwa salah satu bidang tanah yang menjadi obyek lelang (SHGB No.2236 seluas 1.032 m2) sesungguhnya sudah disita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Penetapan No.80/2019.Eks dan Berita Acara Sita 9 Maret 2020. Mengacu pada fakta hukum tersebut, KPKNL Jakarta V dapat menghentikan pelaksanaan lelang.
Pada 2 November 2020, Kuasa Hukum Tuty Suryani juga telah memberitahu KPKNL Jakarta V bahwa obyek lelang tersebut telah menjadi obyek perkara di Pengadilan Negeri Jakara Pusat yaitu perkara No. 633/Pdt.G/2020/PN.Jkt Pst.
Selain itu, secara resmi KPKNL Jakarta V sudah diberitahu adanya pemblokiran sertifikat SHGB No. 2312 dan SHGB No. 2336 atas nama Tuty Suryani Budiman. Namun KPKNL Jakarta V tetap melaksanakan lelang pada tanggal 5 November 2020.
Patut dicurigai tidak adanya itikad baik peserta lelang/pemenang lelang. Kecurigaan ini berangkat dari fakta bahwa peserta lelang (satu orang) berani membeli obyek lelang yang “sedang bermasalah” yaitu obyek lelang seluas 1.032 m2 sedang dalam sita PN Jakarta Pusat.
SHGB 2336 dan SHGB 2312 atas nama Tuty Suryani sudah diblokir di Kantor BPN Jakarta Pusat. Atas hal tersebut, Tuty Suryani mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu perkara No. 633/Pdt.G/2020/Pn.Jkt.Pst.
Mengacu pada Laporan Kantor Jasa Penilai Publik Andreas Parlidungan Siregar No. 00190/3.0068-00/PI 12/0373/0XI/2020 tanggal 16 November 2020 obyek lelang tersebut sebesar Rp 83.358.300.000.
Namun, Ade Ernawati menetapkan harga lelang hanya Rp 21.800.000.000, jauh di bawah nilai appraisal. (*)