Jakarta, TrijayaNews.id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kembali menerima masukan masyarakat. Masukan tersebut lebih mengerucut pada aspek implementatif dari RUU TPKS. Penyusunan suatu undang-undang, lebih lagi ketika menyangkut korban, perlu disiapkan semaksimal mungkin, bahwa hal tersebut akan dapat dijalankan. Untuk itu, suatu simulasi penanganan perkara dapat menguji norma hukum yang tengah disusun. Oleh karenanya, Menteri PPPA secara khusus mendengarkan pandangan dan pengalaman para pendamping korban dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual serta mendiskusikan skema simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS. Simulasi ini akan menguji norma pada RUU TPKS dalam mengurai hambatan pada penanganan kasus kekerasan seksual.
KemenPPPA berharap bahwa RUU TPKS yang kelak disahkan dapat mengandung rumusan yang implementatif, dapat dijalankan dengan baik, serta mudah dipahami oleh aparat penegak hukum dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional. Sehingga, pemenuhan hak korban dapat diberikan sepenuhnya sesuai peraturan yang berlaku.
“Kami harapkan rancangan undang-undang ini tidak sebatas dokumen norma hitam atas putih. Kami ingin ketika disahkan undang-undang ini akan betul-betul implementatif. Kita perlu memastikan apakah implementasi nyata di lapangannya akan bisa ter-eksekusi dengan baik. Oleh karena itu, simulasi menjadi metode yang penting untuk dilakukan,” ungkap Menteri PPPA pada Rapat Pembahasan Simulasi Layanan Terpadu dan Restitusi dalam RUU TPKS, Senin (28/2).
Para pendamping korban, di antaranya Ratna Batara Munti, dari LBH Apik, menuturkan bahwa dalam simulasi restitusi perlu mencermati detil aspek-aspek, mulai dari bentuk restitusi, mekanisme, serta eksekusinya. Sementara, Nurherwati, SH memperlihatkan bagaimana ternyata di lapangan eksekusi dalam restitusi bisa berlarut hingga tidak tertangani, misalnya ketika pelaku meninggal dunia, sedang harta pelaku dipegang oleh ahli waris. Atau ketika pelaku dinyatakan tidak mampu atau tidak mempunyai harta untuk dieksekusi. Selain itu, mekanisme pemberian ganti rugi kepada korban di luar proses peradilan pidana belum tertangani, padahal juga perlu diberi perhatian sehingga RUU ini nantinya sepenuhnya menjamin keadilan bagi korban.
Diskusi sepanjang sore mengurai segi-segi positif metode simulasi ini. Mensimulasikan restitusi akan dapat menggambarkan bagaimana jalannya proses pelaporan dan penyidikan di kepolisian ketika dilakukan dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan mengenai restitusi. Akan dapat teridentifikasi lebih lanjut hal-hal detil seperti ketersediaan blanko isian pengajuan restitusi, pengajuan sita jaminan restitusi sejak tahapan penyidikan, dan lainnya. KemenPPPA memandang bahwa sekalipun ada hal-hal yang bersifat teknis yang nantinya diatur dalam peraturan turunannya, namun semangat dan arahnya dapat dituangkan dalam RUU nya.
Selain simulasi restitusi, simulasi juga perlu dilakukan terhadap penyelenggaraan layanan terpadu. Sebagai sebuah rancang bangun pelayanan bagi korban, sangat penting adanya pemahaman yang sama tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu. Untuk itu mengetahui yang dimaksud dengan penyediaan layanan yang dibutuhkan korban secara terpadu perlu dibedah dan disimulasikan. Hal ini juga memperhatikan kekhasan korban kekerasan seksual yang umumnya korban membutuhkan berbagai layanan untuk pemulihan akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Para pendamping korban selama ini melihat sejumlah permasalahan dalam pemberian layanan bagi korban. Hal utama yang dirasakan adalah masih seringnya korban harus menyediakan biaya sendiri untuk mengakses visum. Puspita, dari Perempuan Mahardhika juga menyampaikan bagaimana rumah bagi pekerja perempuan yang sudah begitu baik disediakan oleh pemerintah dan perusahaan, ternyata masih sulit diakses para perempuan pekerja karena hambatan birokratik. Demikian pula yang masih sangat memprihatinkan terbatasnya layanan psikososial dan konseling psikologi bagi korban agar korban mampu menyampaikan keterangan yang diperlukan untuk mengungkap peristiwa kekerasan seksual.
Pembahasan tentang simulasi layanan terpadu mengerucut pada aspek akses pada layanan yang disediakan serta upaya mengatasi hambatan bagi korban dalam mengakses layanan. Untuk itu, suatu simulasi akan dapat mengidentifikasi titik-titik hambatan dan cara memecahkannya untuk mendukung pemberian layanan bagi korban, serta pembiayaan dalam pemberian layanan bagi korban.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, menyampaikan akan segera menyiapkan hal-hal yang diperlukan agar metode simulasi dapat dilakukan dalam waktu dekat. Koordinasi dengan para pendamping dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, sangat diperlukan untuk memastikan kelancaran simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS ini.
“Pelaksanaan simulasi nantinya akan berfokus pada 2 simulasi, yaitu layanan terpadu dan restitusi. Saya memandang sangatlah penting keterlibatan dari kementerian/lembaga, jaringan masyarakat sipil, serta akademisi pada simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS ini,” tutup Menteri PPPA.