JAKARTA, TrijayaNews.id – Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai, program bansos kini sudah mengalami perluasan makna. Tidak sekedar bantuan bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19, namun bansos juga menjadi sarana perekat sosial.
“Saya sangat menaruh perhatisn khusus penyaluran Bansos, utamanya yang menjadi tanggung jawab Kemensos,” kata Emrus Sihombing melalui saluran telepon selulernya, Senin (20/07).
Pandangan Emrus muncul setelah mengamati proses distribusi bansos, khususnya bansos sembako yang langsung dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Di lapangan, ia melihat Mensos bekerja keras dan bergerak ke berbagai kelompok sosial (komunitas).
“Nah ini ada komunitas pemuda, mahasiswa, purnawirawan/keluarga pahlawan, komunitas seniman, dan seneas, atlet, dan sebagainya. Yang sangat menarik buat saya, dia juga diterima baik di kalangan berbagai tokoh Muslim. Dia juga bisa bikin PSBB, yaitu Perekat Sosial Berskala Besar,” kata Emrus.
Pengajar Pascasarjana Universitas Perlita Harapan ini melihat Mensos bertandang ke pesantren di Ponpes Modern Shohibul Muslimin, Serang, Provinsi Banten. Kemudian, Mensos juga menyerahkan bansos Ansor, Muhammadiyah, ke Bamus Betawi, dan terakhir ke Forum Betawi Rempug (FBR).
Dalam kunjungan itu, Mensos diterima baik para tokoh organisasi Islam. Di antara tokoh tersebut adalah Penasehat Ponpes Modern Shohibul Muslimin Bachtiar Chamsyah; tokoh Bamus Betawi H. Lulung Lunggana, H. Zainudin, dan Ahmad Riza Patria – yang juga Wakil Gubernur DKI.
Melalui Bansos juga, Mensos juga tertemu dengan tokoh-tokoh FBR, di antaranya Ketua Umum FBR Lutfi Hakim. Sebagai pakar komunikasi, Emrus melihat interaksi Juliari dengan tokoh-tokoh ini bukan peristiwa biasa. Meskipun pertemuan dengan para tokoh tersebut dilakukan Mensos untuk mendistribusikan bansos, namun membawa pesan yang tidak kalah penting.
“Ini bisa dijelaskan dengan analisa semiotika yang ‘membaca’ fenomena dari simbol-simbol. Sekalipun Mensos non Muslim, tapi dalam konteks ini, dia bisa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Islam dan dengan berbagai kalangan,” katanya.
Juliari P. Batubara salah satu kader terbaik PDI Perjuangan. Sedangkan PDI Perjuangan tidak bisa dilepaskan dari representasi negara, karena Presiden Joko Widodo merupakan kader partai banteng.
“Kita tahu belakangan ini ada sedikit miskomunikasi antara aktor politik dengan sebagian kelompok dari kalangan agama tertentu. Terutama sejak Pilkada DKI tahun 2009 dan berlanjut tahun 2014. Dan saya kira saat ini masih belum sepenuhnya cair,” katanya.
Emrus melihat masih ada sekat antara sekelompok dari agama tertentu dan negara. Keduanya berada di posisi seolah berseberangan dan berpotensi menimbulkan ketidakkepercayaan satu dengan lain. Bila kondisi ini terus berlanjut, menurut dia, hanya akan merugikan kedua belah pihak, dan juga lebih luas merugikan bangsa.
“Miskomunikasi ini harus segera dicairkan. Nah kita butuh tokoh seperti Juliari Batubara. Dia bisa membuka sekat-sekat psikologis. Dengan bansos, Mensos membawa misi dialog dan persaudaraan ke ‘jantung’ komunitas Islam,” katanya.
Emrus melihat, latar belakang dari pemeluk agama mayoritas dan dari partai penguasa, namun justru merupakan modal penting Juliari. Ia bisa menyingkirkan sumbatan-sumbatan komunikasi yang selama ini menjadi ganjalan. Dengan gayanya yang rileks, rendah hati, cair, lincah, dia bisa diterima baik di kalangan Islam.
“Bangsa ini, menurut saya, butuh figur seperti Juliari yang mampu merekatkan kelompok-kelompok masyarakat. Karena masa depan bangsa majemuk ini harus dibangun dengan kontribusi seluruh elemen bangsa. Apalagi kita sedang berjuang menghadapi pandemi,” katanya.
Usianya yang masih muda, justru secara implisit dipandang tidak membawa beban sejarah dari para tokoh senior. “Saya harap dia bisa terus bergerak karena masih banyak kelompok lain yang tidak kalah kritis, namun belum disentuh,” katanya.