JAKARTA, TrijayaNews.id– Keputusan DPR RI untuk mengeluarkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 menimbulkan reaksi dan kecaman dari berbagai pihak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan pihaknya akan terus mengawal untuk memastikan RUU PKS dapat masuk ke Prolegnas Prioritas 2021 pada rapat DPR RI Oktober mendatang, sebab urgensi disahkannya RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi.
“Saya yakin kita dapat mewujudkan sistem penghapusan kekerasan seksual yang komprehensif. Mari bersama kita menghimpun kekuatan dari berbagai mitra dari pemangku kepentingan, serta membangun kepercayaan masyarakat. Kita lanjutkan perjuangan panjang RUU PKS ini dengan lebih intens, membuat suatu narasi bersama terhadap urgensi keberadaannya sehingga dapat didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Percepatan pengesahan RUU PKS ini menjadi bukti nyata upaya memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk kekerasan, terutama bagi kelompok rentan perempuan dan anak dari kekerasan seksual,” ungkap Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam DiscusShe Tempo Media Group dengan tema Urgensi Pengesahan RUU PKS
Menteri Bintang menambahkan kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak kepada korban saja, tetapi juga berdampak pada pola pikir masyarakat secara luas. “Kita juga harus dapat melindungi perempuan dan anak dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar menghapuskan kekerasan seksual. Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang saat ini berlaku memang sudah mencakup materi substansi yang sangat baik dalam upaya perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, kekerasan seksual memiliki karakteristik dan kekhususan secara normatif yang tidak bisa disamakan dengan tindak pidana lainnya. Oleh sebab itu, perlu adanya sistem komprehensif yang berperspektif korban melalui mekanisme pendampingan khusus bagi korban kekerasan seksual, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, persidangan, hingga pasca persidangan untuk membantu korban dalam menghadapi trauma yang dialami,” tambah Menteri Bintang.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah mengikuti banyak forum diskusi dengan berbagai pihak terkait isu RUU PKS. Hal ini dilakukan agar dapat menghimpun berbagai perspektif, pandangan, upaya, pendapat, serta masukan dari berbagai pihak. Kemen PPPA secara proaktif akan terus membuka ruang diskusi untuk dapat menerima masukan serta mendapatkan gambaran mengenai strategi terbaik dalam rangka penghapusan kekerasan seksual yang juga dapat diterima oleh semua pihak.
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari menuturkan tidak dapat dipungkiri bahwa pembahasan RUU PKS merupakan polemik yang memunculkan pro dan kontra dari masyarakat. Masih terdapat kelompok masyarakat yang masih menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. “Pembahasan RUU PKS ini sudah berlangsung selama 2 periode tapi belum juga rampung. Sejak awal pembahasan RUU PKS ini kami telah memberikan masukan agar pembahasan ini dilakukan oleh Badan Legislatif atau panitia khusus agar bisa berjalan dengan lancar. Pembahasan RUU PKS ini akan lebih tepat jika menjadi tanggung jawab dan melibatkan lintas komisi bukan hanya Komisi VIII saja. Pada Oktober nanti akan ada rapat evaluasi pembahasan RUU yang akan masuk Prolegnas Prioritas 2021 dan kami akan berjuang untuk memastikan RUU PKS bisa masuk ke Prolegnas Prioritas 2021. Hal ini kami lakukan karena kami yakin dengan adanya RUU PKS ini berarti negara memberikan perhatian penuh terhadap proses pemulihan korban kekerasan seksual bukan hanya hukuman bagi pelaku saja.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan setiap 2 jam terdapat 3 perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia dan angkanya terus bertambah setiap tahunnya hal ini disebabkan sudah banyak perempuan korban kekerasan seksual yang mulai sadar dan berani untuk melaporkan apa yang mereka alami. “Penundaan kembali pembahasan RUU PKS di DPR RI ini memang menjadi kekecewaan bagi banyak pihak terutama korban kekerasan seksual. Padahal jelas saat ini belum ada kepastian hukum bagi pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual serta pemulihan dan pemenuhan keadilan hak-hak korban. Belum adanya payung hukum tersebut, maka tidak ada alasan bagi DPR menunda pengesahan RUU PKS. Kami semua yakin keberadaan RUU PKS tidak saja lebih berpihak pada korban, tetapi juga mendorong upaya pencegahan dan pemulihan, sosialisasi, edukasi dan advokasi, termasuk keikutsertaan masyarakat luas. Untuk itu, kami juga mendorong DPR RI melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU itu di tahun 2021 bagi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan,” ujar Andy.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Selebritis sekaligus Aktivis Hak-hak Perempuan, Ayushita Widyartoeti dari pengalamannya ketika terjadi kekerasan seksual, sering kali yang disalahkan adalah korban, bukan pelaku. Akibatnya, korban selalu mengalami proses sudah menjadi korban kekerasan seksual kemudian menjadi korban kembali, karena stigma negatif yang dilekatkan atau reviktimisasi. Padahal sangat jelas perempuan korban kekerasan seksual sangat perlu mendapatkan pendampingan serta rasa aman atas apa yang telah dialaminya, dalam hal ini masyarakat pun harus selalu diedukasi mengenai tindak asusila dan bagaimana bersikap pada korban. Permasalahan penghapusan kekerasan seksual ini adalah masalah dan tanggung jawab kita bersama bukan hanya pemerintah ataupun polisi, kita semua harus ambil bagian dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual. Saya tentunya setuju dengan pengesahan RUU PKS ini, sebab tidak hanya menitikberatkan pada hukuman bagi tersangka, akan tetapi lebih membahas kepada pencegahan dan mengenai pendampingan bagi korban kekerasan seksual sampai tahap pemulihan,” ujar Ayushita.