JAKARTA, TrijayaNews.id – Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap pekerja migran. Pasalnya, hak hak dasar mereka dan keluarganya amat memprihatinkan. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan kurang mendapat perhatian. Padahal para pekerja migran yang berjuang menafkahi keluarganya dari negeri orang adalah “pahlawan”. Ini karena mereka ikut berkontribusi meningkatkan pundi-pundi devisa negara.
“Pertanyaannya ada apa dengan pembangunan ekonomi regional? Utamanya pembangunan pertanian,” ujar Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dwi Listyawardani setengah bertanya ketika memberikan sambutan pembukaan pada Webinar Series Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Selasa (6/10/2020).
Menurut Dwi Listyawardani, hingga saat ini sumber nafkah penduduk sebagian besar ditopang oleh sektor pertanian. Meski bergeser ke industri dewasa ini, tapi pembangunan tetap berbasis pertanian. Dari fakta yang ada, demikian Dwi, kini sektor pertanian tidak lagi diminati oleh generasi saat ini. Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, mereka lebih memilih menjadi pekerja migran. Padahal, kondisi ini akan menjadi masalah dari aspek kependudukan.
“Kabupaten Lamongan (Jawa Timur) contohnya. Pimpinan daerahnya tidak masalah terjadi migrasi penduduk di wilayahnya. Tapi dari aspek penduduk, itu masalah. Karena penduduk yang berpindah tetap akan menjadi masalah bagi daerah tersebut nantinya,” tandas Dwi. Dwi mengatakan, saat ini struktur penduduk belum dipertimbangkan sebagai potensi produktifitas. Sebagai potensi yang akan berpengaruh pada capaian bonus demografi. Di bagian lain penjelasannya, Dwi mengingatkan bahwa persebaran atau mobilitas penduduk harus dikaitkan dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan. “Bukan semata karena faktor ekonomi, tapi faktor alam juga harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya,” ujar Dwi.
Untuk itu, saat ini BKKBN tengah membuat “blue print” kependudukan. Namun diingatkan bahwa tidak ada kebijakan kependudukan yang sifatnya nasional. Tapi lebih kepada spesifik kedaerahan. “Kita sedang cari format umum, dan kemudian baru masuk ke daerah,” jelasnya.
Diakui Dwi, hingga kini pengetahuan masyarakat, termasuk pejabat, tentang pembangunan berwawasan kependudukan masih terbatas. “Untuk itu kami akan fasilitasi pemahaman tentang pembangunan berwawasan kependudukan hingga ke tingkat daerah,” tambahnya.
Dwi mengatakan penduduk Indonesia haruslah memiliki semangat sebagai pekerja keras, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. “Informaai teknologi harus dikuasai agar SDM kita bisa berkualitas,” tuturnya. Namun bukan hanya sekedar berkualitas, menurut Dwi, kondisi itu harus juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang seimbang dari sisi kuantitas. Kualitas dan kuantitas penduduk harus juga dilandasi oleh nilai-nilai positif dalam keluarga. “Sumber daya keluarga inilah yang menjadi salah satu penentu keberhasilan anggota keluarga,” terang Dwi. Pada bagian lain penjelasannya, Dwi mengungkapkan beberapa persoalan yang harus dituntaskan di sektor kependudukan. Yakni, pengendalian urbanisasi untuk pemerataan penduduk dengan tetap memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sumber cadangan nasional seperti beras. Selain itu, “baby boomers” masih menguasai ekonomi. Modal dan investasi masih dikuasai oleh kelompok ini. Berikutnya, perlu adanya perbandingan produktifitas antar kelompok umur dan nilai-nikai ekonomi individu. “Lainnya, berupa pemetaan kualitas SDM antar wilayah yang mempengaruhi kualitas SDM secara keseluruhan,” ujar Dwi dalam webinar bertemakan “Nowhere, Everywhere”.
Mobilitas lintas negara
Webinar yang dipandu Dr. Herry Yogaswara MA, Kepala pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menampilkan pembicara Dr. Salut Muhidin, Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia. Dalam paparannya yang mengangkat isu tren mobilitas lintas negara, Salut mengatakan persentase migran Indonesia pada 2019 lalu 75 persen karena alasan bekerja. Selebihnya karena alasan konflik, “climed change” atau masalah lainnya. Salut mengatakan bahwa pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58 persen dan terkonsentrasi di beberapa negara. Sebut saja Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, menurut Salut, 40 persen berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China. Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak “resources”, selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan. “Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa,” jelas Salut.
Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan “retraction” total. Sampai Juli mencapai 400 negara. “Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April,” ujarnya.
Permukiman kumuh & padat
Sementara pembicara berikutnya, Dr. Wahyu Mulyana ST, MA, Senior Advisor, Urban Regional Development Institut, mengatakan bahwa permukiman kumuh dan padat penduduk berpotensi tinggi menyebabkan penularan Covid-19 antar individu. Hingga kini, permukiman kumuh masih mewarnai wajah kota-kota metropolitan di Indonesia. Ini lantaran migrasi penduduk lebih banyak menuju kota-kota besar.
“Tren ke depan, kota sedang dan kecil di sekitar kota metropolitan akan menjadi tumpuan ekonomi. Karena itu harus didorong fasilitas dan prasana ekonominya agar memadai mendukung kota metropolitan,” ujar Wahyu. “Nantinya produk yang dihasilkan tidak mengandalkan kota besar lagi tapi justru dikirim ke kota besar dan ke luar negeri. Meski skala penduduknya sedang dan kecil tapi ketersediaan sarana dan prasarana kota itu mendukung. Seperti Jember dan Banyuwangi di Jawa Timur. Itu akan mencegah generasi muda mencari kerja di kota metropolitan,” tutur Wahyu.
Wahyu berharap pertambahan penduduk perkotaan akan berkontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi nasional. “Saat ini kota masih jadi kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan yang ada di perkotaan lebih tinggi dari pedesaan. Setidaknya 13,5 juta rumah tangga belum memiliki tempat hunian yang layak. Atau 38.000 permukiman kumuh masih ada di perkotaan,” terang Wahyu.
Selain kumuh, problematika penduduk di perkotaan adalah masalah kesehatan, penghasilan, air bersih dan sanitasi layak, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, transportasi dan energi. Adapun pembicara lainnya Dr. Chotib Hasan, Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI, menyorot soal motivasi dan dampak mobilitas penduduk dan urbanisasi: tinjauan teoritis dan empiris. Dia mengatakan keluarga yang memiliki jumlah anggota banyak cenderung kurang mobil. Demikian halnya dengan mereka yang sudah menikah atau memiliki anak yang bersekolah. “Tetapi semakin tinggi pendidikan, akan semakin berpeluang orang untuk bermigrasi,” tandas Chotib.