TrijayaNews.id, Jakarta – Koperasi harus menjadi bagian dari agenda besar Pemerintah demi meningkatkan perekonomian rakyat, melalui hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA). Terutama hilirisasi sumber daya mineral, pertanian dan perkebunan.
Misalnya untuk nikel, di sektor hilir koperasi bisa ikut dalam produksi hilir, seperti bahan piring, sendok, pisau maupun produk kesehatan yang bahan bakunya dari nikel.
Hal tersebut ditekankan Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki, dalam sambutan puncak acara perayaan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) di Jakarta, Rabu (12/7).
Menkop menambahkan, saat ini institusinya juga sedang mengembangkan pabrik Minyak Makan Merah, di beberapa provinsi berbasis sawit. Menurut Teten, pabrik tersebut sepenuhnya dimiliki para petani sawit anggota koperasi.
“Dengan pabrik itu, hilirisasi produk dapat dilakukan. Petani sawit tidak lagi hanya menjual Tandan Buah Segar (TBS), namun menikmati nilai tambah dari produk akhir, yakni minyak makan merah tersebut,” ujarnya.
Selain itu lanjut Teten, pemerintah juga giat mengupayakan peningkatan ekosistem koperasi. Yakni, pengembangan minyak makan merah melalui koperasi petani sawit. Sisi lainnya, juga mendorong terciptanya korporatisasi petani dan nelayan melalui koperasi. “Kami juga memiliki program SOLUSI nelayan, hingga pembangunan rumah produksi bersama, dengan koperasi sebagai pengelolanya,” tandasnya.
Selanjutnya sumber SDA lain yang berpotensi dihilirisasi yaitu bambu. Saat ini imbuh dia, dunia tengah mendorong penggunaan bambu untuk menggantikan kayu, karena dinilai lebih ramah lingkungan.
Lanjut MenkopUKM, di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada sekitar 40 ribu hektare bambu. Dimana potensi ini kata dia, juga akan dicoba hilirisasi. Demikian komoditas unggulan di wilayah lain pun harus dikembangkan dengan cara yang sama. “Koperasi harus bekerja di hulu dan hilir, sehingga nilai tambah tinggi dan manfaat ke anggota juga meningkat,” tandasnya lagi.
Kemudian pemerintah, kini pun sedang fokus pada pengembangan kopdiaerasi sektor riil, guna membangun ekonomi anggota dan masyarakat yang lebih luas. Dari sisi peluang tegas Teten, koperasi sektor riil memiliki banyak potensi. Mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, jasa, pariwisata, dan banyak macam usaha lainnya.
Diungkapkan Teten, tiap wilayah kota/kabupaten di Indonesia pasti memiliki potensi unggulan. Seperti komoditas kerajinan, destinasi wisata, atau lainnya. Karena itu, kata dia koperasi sektor riil harus menjadi pemain utama dalam potensi unggulan tersebut. “Tujuannya agar manfaat dan nilai tambah yang dihasilkan dapat sebesar-besarnya terdistribusi kembali ke anggota dan masyarakat di wilayah tersebut,” tegasnya.
Imbuh Menkop, dalam menangkap peluang tersebut, tahun ini pihaknya pun telah membangun tujuh rumah produksi bersama untuk menjadi tempat maklon. Dengan begitu koperasi dan UMKM akan didorong menjadi supply chain industri, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Garut, Jawa Barat kata dia, telah dibangun rumah produksi bersama untuk industri kulit senilai Rp12 miliar. Diharapkan produksi kulit dalam negeri tidak kalah dengan merek terkenal dunia.
“Koperasi dalam pengelolaan hilirisasi merupakan hal fundamental. Sehingga jika berbicara industrialisasi, maka bukan hanya milik usaha besar tetapi koperasi dan UMKM bisa menjadi bagian dari industri yang ada,” ujar MenkopUKM.
Terkait agenda besar Indonesia pada 2045 menuju negara maju, dalam RPJMN yang sudah disusun, pendapatan per kapita minimum harus mencapai 14.000 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Saat ini, masih berada di angka 4.500 dolar AS per kapita.
Nah, bagaimana cara mengubah dari 4.500 dolar AS menjadi 12.000 dolar AS per kapita? Salah satunya kata dia, harus meningkatkan kualitas pekerja atau SDM, yakni dengan melibatkan usaha mikro di sektor hilirisasi.
Untuk itu imbuh MenkopUKM, dibutuhkan dukungan kebijakan selain fiskal, juga dibutuhkan dukungan moneter dengan anggaran yang besar. UMKM butuh untuk memodernisasi usahanya, perlu membangun pabrik-pabrik bersama. “Padahal saat ini ada regulasi untuk menyalurkan pembiayaan hingga 30 persen untuk UMKM, namun hingga kini baru mencapai 21 persen, jadi harus dioptimalkan,” tegasnya.**