Trijayanews.id – Di tengah derasnya arus digitalisasi, kita menyaksikan transformasi luar biasa dalam pola tumbuh kembang anak-anak. Gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka—bahkan sejak usia yang sangat muda. Fenomena ini begitu dekat dalam kehidupan kita, namun sering kali luput dari perhatian. Mengingatkan pada pepatah lama, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.” Apakah kita sedang membiarkan generasi masa depan tumbuh cerdas secara teknologi, namun rapuh secara emosional?
Cermin Kecerdasan atau Pemicu Krisis?
Anak-anak masa kini adalah digital native. Mereka tumbuh dalam dunia serba instan dan serba mudah. Kemampuan mereka mengakses informasi dan mengoperasikan teknologi sering kali membuat kita kagum. Namun, di balik kecanggihan itu, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: kecanduan gadget.
Studi dari Klinik Lalita menyebut bahwa penggunaan gadget secara berlebihan dapat menghambat perkembangan sinapsis otak anak. Ketika screen time menggantikan aktivitas fisik dan interaksi sosial, anak-anak kehilangan stimulasi yang penting bagi kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Lebih jauh lagi, kehadiran gadget yang terlalu dominan juga mengganggu kualitas hubungan emosional antara orang tua dan anak.
Artikel dari Universitas BINUS merinci 11 dampak negatif penggunaan gadget pada anak, mulai dari gangguan tidur, penurunan fokus, hingga kesulitan bersosialisasi. Psikolog Kasandra Putranto menegaskan bahwa ketika gadget mulai mengganggu kesehatan mental, fisik, dan fungsi sosial anak, maka itu sudah masuk kategori kecanduan.
Fenomena yang Tak Lagi Teoritis
Kita tidak lagi berbicara soal teori. Media sosial dan pemberitaan telah menunjukkan berbagai kasus viral: anak-anak yang marah besar saat gadgetnya disita, bahkan sampai melakukan tindakan agresif terhadap orang tua. Ini bukan sekadar perilaku impulsif, melainkan sinyal darurat sosial yang perlu ditanggapi serius.
Menurut data Katadata Insight Center (2024), 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah mengakses internet, dan 6 persen anak di bawah usia satu tahun sudah menggunakan ponsel. Angka ini menunjukkan bahwa paparan digital terjadi jauh lebih awal dari yang seharusnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, gadget kini menjadi pintu masuk bagi kejahatan terhadap anak. Pada Agustus 2025 publik dikejutkan oleh kasus penculikan balita di Sidoarjo oleh sepasang kekasih yang membawa kabur anak berusia 1,6 tahun ke Yogyakarta. Kemudian pada September 2025 seorang pria di Mojokerto divonis 19 tahun penjara atas penculikan dan pemerkosaan dua siswi SD. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa akses digital tanpa pengawasan dapat membuka celah kriminalitas yang nyata terhadap anak-anak.
Literasi Digital Emosional: Urgensi yang Terlupakan
Solusi dari fenomena ini bukan sekadar membatasi screen time, tetapi membangun literasi digital yang berorientasi pada kesehatan emosional. Orang tua perlu menjadi pendamping aktif, bukan sekadar pengawas. Psikolog anak Vera Itabiliana menyarankan anak usia SD hanya boleh menggunakan gadget selama 1–2 jam per hari, dan tetap dalam pengawasan orang tua.
Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal keseimbangan emosional dan sosial. Kita perlu mengedukasi masyarakat, terutama orang tua, bahwa gadget bukan musuh, tetapi alat yang harus digunakan dengan bijak. Kampanye publik, edukasi di sekolah, dan kolaborasi lintas sektor bisa menjadi langkah strategis untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas digital, tetapi juga matang secara emosional.