JAKARTA, TrijayaNews.id – Bangkai paus biru yang ditemukan terdampar di Pantai Nunhila, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur akan dikubur hari ini. Warga diimbau tidak mendekat lantaran bangkai hewan langka itu berpotensi membawa parasit anisakis typica penyebab penyakit.
“Paus termasuk mamalia laut yang dilindungi secara nasional. Untuk menghindari pemanfaatan bangkai paus dan menghindari munculnya sumber penyakit, harus segera ditangani sesuai Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar yang telah disusun KKP,” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) Aryo Hanggono saat memberikan keterangan di Jakarta (22/7).
Saat ini kondisi Paus biru (balaenoptera musculus) sudah membusuk. Beberapa sisi kulitnya terkelupas dan menimbulkan bau tak sedap. Dari hasil pengukuran, panjang badan paus biru mencapai 29 meter dengan berat sekitar 100 sampai 200 ton. Umurnya ditaksir 70 tahunan.
Ikram Sangadji Kepala Balai Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang dalam keterangan persnya Rabu, (22/7/2020) menyebutkan pihaknya akan menguburkan paus siang ini di lokasi yang tak jauh dari pantai.
“Sebelum dikubur, kami akan ambil sampel isi perut untuk diteliti. Sekaligus melihat ada tidaknya sampah di dalam perut paus ini,” ujar Ikram.
Sehari sebelumnya tim BKKPN Kupang juga telah mengambil sampel daging dan kulit paus biru tersebut. Sampel-sampel nantinya dikirim ke Universitas Udayana Bali dan Unversitas Nusa Cendana (Udana) Kupang untuk uji genetika dan parasit.
Mengingat ukurannya yang sangat besar, penguburan akan dibantu dengan eskavator dan melibatkan banyak pihak seperti BKSDA, Polairud, Dinas Kelautan dan Perikanan setempat hingga TNI AL. Penguburannya juga dipastikan sesuai prosedur agar struktur tulang paus tidak rusak. Tujuannya agar kerangka hewan langka ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan penelitian dan bukti sejarah di kemudian hari.
Sangadji mengimbau warga untuk tidak mendekati bangkai paus. Pasalnya, di bangkai mamalia berbadan besar tersebut kemungkinan terdapat parasit anisakis typica. Parasit ini bersifat zoonososis yang dapat bertransmisi dari ikan ke manusia, termasuk bila ikan dikonsumsi dalam kondisi mentah.
“Ada bahaya parasit di sana. Apalagi kalau sewaktu-waktu perut paus meletus. Cacing-cacing parasit itu bisa nempel di kuku, masuk mulut, hidung yang akan berdampak burut buat kesehatan kita. Parasitnya kecil sekali dan parentik host-nya di hewan mamalia, termasuk paus,” jelasnya.
Menurut Sangadji, kawasan Laut Sawu (termasuk di dalamnya Teluk Kupang) memang menjadi jalur perlintasan paus dan lumba-lumba. Oktober tahun lalu ada 17 ekor paus terdampar di Perairan Sabu Raijua, NTT. Perubahan cuaca hingga terganggunya sistem navigasi paus, bisa menjadi penyebab mamalia tersebut terdampar.
“Untuk paus terdampar di Teluk Kupang baru sekali ini. Tapi di tempat lain di kawasan Laut Sawu, ini sering terjadi. Laut Sawu ini memang perlintasannya mamalia seperti paus dan lumba-lumba,” pungkas Sangadji.