Jumat, April 26, 2024

Bangun Aspek Kultur dan Sinergi Untuk Zero Victims Tsunami

JAKARTA, TrijayaNews.id – Tsunami merupakan jenis bencana alam yang jarang terjadi, namun jika terjadi akan berdampak sangat besar dan seketika, baik kerusakan infrastruktur, ekonomi bahkan menimbulkan banyak korban jiwa.

Dengan disadari bahwa Indonesia sebagai negara yang aktif gempabumi dan tsunami dimana bencana gempa tidak dapat diprediksi dan tsunami akan datang tiba-tiba, maka dirasa sangat perlu untuk membekali diri dalam upaya mitigasi, terutama upaya kesiapan penyelamatan diri dan prosedur evakuasi.

Pemerintah saat ini terus mengembangkan teknologi, peralatan, sistem dan tata cara serta aspek kelembagaan untuk menghadapi beragam bencana alam termasuk tsunami.

Keberadaan sistem peringatan dini merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan dalam upaya mencegah atau paling tidak dalam upaya mengurangi dampak dari bahaya tsunami yang dapat terjadi sewaktu-waktu kapan saja dan dimana saja.

Dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana tsunami, BMKG memainkan peran pentingnya melalui Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak tahun 2008.

“Semua teknologi, (aspek teknis) seperti super komputer, Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligent (AI) yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati saat membuka webinar World Tsunami Awareness Day “Memperingati Hari Tsunami Dunia; Membangun Budaya Siap, Selamat dan Sejahtera” di Jakarta, Jumat, (13/11)

Dwikorita mengatakan, aspek kultur yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.

Menurut dia, apabila masyarakat dan PEMDA di daerah rawan bencana tsunami masih ada yang tidak atau kurang memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara Sistem Penerima Peringatan Dini Tsunami yang terpasang di seluruh BPBD/Pusdalops, juga kurang mampu memelihara dan mengoperasikan Sirine Peringatan Dini Tsunami di Daerah rawan, ataupun belum siap dengan Jalur, Peta dan Tempat Evakuasi,  bahkan belum memahami dan menguasai Prosedur Operasional Standard untuk  Evakuasi dan Penyelamatan Diri, maka teknologi yang sudah disiapkan dalam Sistem Peringatan Dini tersebut tidak akan berguna. Oleh karena itu BMKG bersama dengan Pemerintah Daerah ataupun BPBD dan berbagai pihak terkait, terus selalu menggalakkan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami demi meningkatkan pemahaman dan kesiapan masyarakat dan PEMDA dalam mengantisipasi bahaya Gempabumi dan Tsunami.

Salah satu permasalahan yang masih selalu muncul adalah persoalan sirine tsunami. Sirine tsunami dibangun dengan harga yang cukup mahal oleh pemerintah pusat (BNPB) kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Daerah untuk dioperasikan dan dipelihara. Data BNPB menunjukkan dari 158 sirine yang dipasang BNPB di tahun 2013 – 2014, saat ini tinggal sekitar 58 sirine yang masih beroperasi, yang berarti 100 sirine dari BNPB tersebut sudah tidak berfungsi (mati), karena keterbatasan anggaran Pemda untuk pemeliharaannya.

Sementara itu sejak tahun 2008 hingga tahun 2015 BMKG telah memasang 52 sirine, dimana 6 sirine telah dihibahkan ke Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan 9 sirine dihibahkan ke Pemerintah Propinsi Bali. Hingga saat ini dilaporkan oleh BPBD Sumatera Barat bahwa seluruh sirine yang telah dihibahkan tersebut tidak dapat terpelihara oleh Pemerintah Provinsi, sehingga saat ini tidak berfungsi lagi. BMKG saat ini juga sedang dalam proses mengganti 19 sirine yang masih dipelihara oleh BMKG karena usia operasionalnya sudah habis dan suku cadangnya sudah tidak tersedia lagi di pasaran ataupun di Fabrikan.

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami mengakui bahwa salah satu kendala dalam operasional dan pemeliharaan sirine tsunami  tersebut adalah terkait dengan biayanya yang cukup mahal dan suku cadang yang sudah tidak diproduksi lagi.

Karena itu saat ini BMKG mencoba memasang sirine tsunami yang memanfaatkan teknologi tepat guna dengan harga yang jauh lebih murah, teknologi lebih sederhana sesuai dengan Standard Nasional Indonesia (SNI), sehingga diharapkan akan lebih mudah dioperasikan dan lebih murah dipelihara oleh Pemerintah Daerah. Sirine versi sederhana ini telah berhasil diuji coba di Labuan Bajo pada tanggal 12 November 2020 yang lalu.

Terkait aspek kultur, hal senada disampaikan narasumber webinar dari Unesco Indonesia, Ardito M Kodijat. Ardito menyatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat yang terpapar tidak cukup memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespon peringatan dini tersebut.

“Kalau kita punya sistem yang sangat canggih saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan maka sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan,” ujar Ardito.

Dia juga mengatakan, dalam keadaan darurat tsunami, risiko kehilangan nyawa dan harta benda menjadi sangat tinggi bagi masyarakat pesisir dengan tingkat kesiapan yang rendah.

Serta perlu dijaga jangan sampai rantai peringatan dini dari Pusat menjadi lemah atau terputus di daerah,  sehingga informasi tidak sampai ke masyarakat di daerah rawan, juga karena tidak ada arahan Pemda/BPBD untuk masyarakat setempat segera mengevakuasi diri. Hal itu bisa terjadi karena ketidaksiapan SDM di daerah, prosedur atau masalah teknologi

Baca Juga :   Menteri Bintang Apresiasi Pemulangan 2 Anak Korban Ekploitasi Ekonomi.

Juga perlu dipastikan bahwa sesuai dengan Perpres no. 93 tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di Indonesia, bahwa keputusan atau perintah evakuasi wajib dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan informasi Peringatan Dini dari BMKG.

Tampaknya  belum semua Pusdalops atau BPBD di daerah beroperasi 24 jam karena keterbatasan anggaran operasional, maka beberapa kali pernah terjadi informasi peringatan dini potensi  tsunami yang dikeluarkan oleh BMKG dan secara otomatis masuk ke sistem yang telah terpasang di BPBD, tidak diteruskan oleh BPBD/Pusdalops ke masyarakat di daerah rawan, atau tidak ada petugas di BPBD yang siap memencet/ mengaktifkan sirine saat informasi peringatan dini dikeluarkan BMKG, sehingga rantai peringatan dini terputus dan tidak ada perintah evakuasi dari Pemda atau BPBD. Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi keselamatan masyarakat. Terbukti bahwa kemajuan teknologi bukanlah jaminan keselamatan, namun kesiapan SDM dan sistem operasional dan penganggarannya di Daerah sangatlah vital dalam menjamin berfungsinya peringatan dini untuk keselamatan jiwa.

Menurut Ardito, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami, yang dalam hal ini sangat diperlukan peran Pemerintah Daerah dengan dukungan Pemerintah Pusat  dan para pihak terkait.

Baca Juga :   UU Cipta Kerja Momentum Kebangkitan Usaha Bidang Kesehatan

Sinergi Antar-lembaga, Pusat dan Daerah

Dwikorita pada kesempatan tersebut menyampaikan rasa syukur bahwa sejak akhir 2019 telah terbit Perpres No. 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami. Perpres tersebut sebagai payung hukum bagi semua pihak untuk bergerak cepat dan sinergis dalam menyebarkan informasi tsunami.

Ia mengatakan, pada 2010-2012 sistem peringatan dini tsunami BMKG belum memiliki payung hukum sehingga pada waktu itu sistem itu masih bersifat tumpul dan bagi instansi yang tidak melaksanakan penyebaran informasi tsunami tidak mendapatkan sanksi apapun.

Kemudian pada 2018, para pimpinan dari Kementerian Lembaga terkait di bawah Koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, BMKG, dan juga BNPB duduk bersama untuk membahas penyiapan perpres untuk Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di Indonesia. Hal ini sangat dibutuhkan agar ada aturan yang mengikat untuk saling bersinergi harmonis dalam rantai penyebaran informasi tsunami.

Walaupun sempat mengalami penundaan penandatanganan perpres, tambah Dwikorita, akhirnya lahir perpres no 93 tahun 2019.

Perpres tersebut juga memastikan adanya sinergi antar lembaga mulai dari bagian Hulu yang merupakan aspek struktur (teknis), sarat dengan penerapan teknologi dan dikoordinasikan oleh BMKG,  hingga bagian Hilir yang sarat dengan aspek kultur (non teknis) yang dikoordinasikan oleh BNPB.

Di bagian Hulu BMKG (InaTEWS), sebagai Pusat Nasional untuk Monitoring Gempabumi Tektonik yang sekaligus memberikan Peringatan Dini Tsunami, bersama-sama dengan badan dan lembaga lainnya yang terkait, seperti Kementerian ESDM yang sudah mengintegrasikan sensor gempa vulkanik di Gunung Anak Krakatau dengan sensor tektonik BMKG, juga BIG yang menyiapkan jaringan tide guage untuk dapat dimonitor oleh BMKG, untuk mengecek kedatangan dan berakhirnya gelombang  tsunami, dan BPPT yang saat ini sedang menyiapkan bouy dengan sensor di dasar laut dan sensor kabel untuk deteksi dini tsunami.

Di bagian Hilir dikoordinasikan oleh  BNPB yang berperan untuk lebih dan selalu meningkatkan kapasitas masyarakat dan pihak terkait, untuk mampu menyiapkan seluruh rangkaian kegiatan mitigasi dan meresponse Peringatan Dini dengan tepat.

“Dengan peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia, mari sama-sama kita kuatkan saling membantu, mendukung, masyarakat, pemda, LSM, semua pihak  bergerak dan semua saling sinergi, agar teknologi-teknologi yang maju jangan sampai lumpuh atau tidak berfungsi hanya karena aspek kultur yang kurang kita perhatikan bersama,” ujar dia.

Dengan sinergi didukung kesiapan kultur dari masyarakat, harus kita wujudkan bersama target “zero victims” saat terjadi tsunami, tegas Dwikorita.

Sejalan dengan Tema yang diusung pada kegiatan Webinar dalam rangka Peringatan Hari Tsunami Dunia tersebut, Dwikorita berharap kegiatan ini dapat menjadikan refleksi atas kejadian gempabumi dan tsunami yang terjadi di Wilayah Indonesia.

Mengingat wilayah Indonesia merupakan wilayah dengan kondisi geografis dengan banyak kepulauan dan memiliki aktivitas seismik yang sangat aktif.

Untuk itu, diperlukan upaya untuk membangun kesadaran masyarakat guna membangun Budaya Waspada dan Siap agar dapat mengurangi risiko bencana gempabumi dan tsunami baik di tingkat nasional dan lokal, sehingga dapat menyelamatkan lebih banyak jiwa dari kejadian bencana yang diakibatkan oleh gempabumi dan tsunami.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

Strategi Kebijakan Hilirisasi Migas dan Minerba yang Efektif untuk Indonesia

JAKARTA, TrijayaNews.id - Kebijakan hilirisasi minyak dan gas (migas) serta mineral batubara (minerba) menjadi salah satu fokus pemerintah untuk mengoptimalkan sumber daya alam. Selain...

Bank DKI Terima Apresiasi Sebagai Mitra Strategis 2023 Baznas Bazis Provinsi DKI Jakarta

Direktur Teknologi dan Operasional merangkap Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama Bank DKI, Amirul Wicaksono melakukan ramah tamah dengan Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi...

Komunitas Rumah Bunga Matahari Rumah Harapan Rayakan Indahnya Ramadhan bersama teman-teman Disabilitas

Trijayanews.id - Dalam rangka merayakan indahnya bulan suci Ramadhan, hari Minggu 24 Maret 2024 Bunga Matahari Rumah Harapan mengadakan acara buka puasa bersama teman-teman...

Bank DKI Ambil Bagian dalam Program SERAMBI Bank Indonesia 2024

Direktur Teknologi dan Operasional, merangkap Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama Bank DKI, Amirul Wicaksono (baris pertama, memegang bendera), disaksikan Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank...

Ciptakan Nuansa Baru di Bulan Ramadhan

Jakarta, TrijayaNews.id– Memilih furnitur dan mendekorasi ulang ruangan di rumah bisa menjadi aktivitas seru dan menyenangkan di bulan Ramadhan, terlebih untuk mengisi waktu sambil...

Berita Terkait

Tentang Kami

Ikuti Kami

Copyright @ 2020 TrijayaNews.id. All right reserved