KOSMAK Desak KPK Periksa Pejabat Tinggi Kejagung Terkait Dugaan Korupsi dan Pencucian Uang

News56 Dilihat

JAKARTA – Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi (KOSMAK) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah. Desakan ini disampaikan Koordinator KOSMAK, Ronald Lobloby, bersama sekitar 250 mahasiswa dalam aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (3/11/2025)

Ronald menegaskan, KPK tidak perlu takut untuk menindaklanjuti berbagai dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan Febrie Adriansyah. “Kami meminta KPK bersikap independen dan berani memproses hukum siapa pun, termasuk pejabat tinggi kejaksaan yang diduga memberantas korupsi sembari korupsi, karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup,” ujar Ronald seusai menyerahkan dokumen laporan kepada bagian pengaduan masyarakat KPK, dengan didampingi Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dan Ketua Pergerakan Advokat Nusantara Carel Ticualu.

Menurut KOSMAK, KPK perlu memberikan penjelasan atas sejumlah kasus yang telah dilaporkan sebelumnya. Dugaan korupsi lelang saham PT Gunung Bara Utama (GBU) misalnya, terdapat informasi telah rampung penyelidikannya, dan diyakini cukup alasan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Dugaan Korupsi Lelang Saham GBU

Dalam penanganan kasus korupsi lelang saham GBU, KOSMAK menyoroti proses lelang aset PT Gunung Bara Utama (GBU) milik terpidana Heru Hidayat yang diduga merugikan negara hingga Rp 10,5 triliun. Nilai aset yang ditaksir mencapai Rp 12,5 triliun disebut dijual murah hanya Rp 1,945 triliun kepada PT Indobara Utama Mandiri — perusahaan yang baru berdiri satu bulan sebelum lelang dan dimiliki Andrew Hidayat, mantan narapidana kasus suap KPK.

Modusnya memakai praktik mark down. Nilai  1 (satu) paket  100% GBU yang ditaksir mencapai Rp 12,5 triliun ”direndahkan” menjadi Rp 3,488 triliun. Seolah-olah berdasarkan hasil appraisal  Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Syarif Endang & Rekan yang ditunjuk oleh Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung, sesuai  Laporan Penilaian Nomor: 000063/2.0113-03/BS/11/034/I/XI/2022, tanggal 14 November 2022. Diduga kuat, kop surat KJPP Syarif Endang & Rekan hanya dipinjam oleh oknum calon pemenang lelang, yang merumuskan sendiri  hasil appraisal 1 (satu) paket  100% GBU, sebesar Rp 3,488 triliun.

Selanjutnya, pada 21 Desember 2022, dilaksanakan pelelangan Lot 2 berupa 1.626.383 lembar saham GBU, dengan nilai pagu Rp 3,488 triliun. Oleh panitia lelang diskenariokan lelang gagal, lantaran tidak ada peminatnya. Padahal peminat GBU sangatlah banyak. Sehingga harus dilakukan lelang ulang.

Rupanya, skenario menggagalkan lelang itu dijadikan modus untuk kembali melakukan praktik mark down, guna memuluskan penurunan nilai limit lelang.

Pada 3 April 2023 dibuat sebuah ”drama”, yakni Rapat Konsultasi Pusat Pemulihan Aset, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM RI, dan Direktur Lelang pada DJKN. Kemudian disepakati dilakukan appraisal kembali, dengan menunjuk KJPP Tri Santi & Rekan yang diduga  lagi-lagi disiapkan oleh calon pemenang lelang. Diduga kuat kop surat KJPP Tri Santi & Rekan juga hanya dipinjam oleh oknum calon pemenang lelang, yang merumuskan sendiri  hasil appraisal 1 (satu) paket 100% GBU, dengan nilai pagu Rp 1,945 triliun, berdasarkan Laporan Penilaian Nomor: 00007/2.0040-00/B5/05/0585/I/V/2023.

Di ujung kisah, PT Indobara Utama Mandiri — perusahaan yang baru berdiri satu bulan sebelum lelang dan dimiliki Andrew Hidayat, mantan narapidana kasus suap KPK — itu menjadi peserta tunggal sekaligus pemenang lelang saham GBU dengan nilai Rp 1,945 triliun. Negara pun dirugikan sebesar Rp 10,5 triliun.

”Dengan demikian terkonfirmasi bahwa benar terjadi manipulasi nilai limit lelang melalui dua Kantor Jasa Penilai Publik yang ditunjuk oleh PPA Kejagung itu, dan ini dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi. Tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak melanjutkan penyidikan kasus itu dengan menyeret Febrie Adriansyah  hingga ke pengadilan,” kata Ronald.

KOSMAK juga menyoroti penyidikan terhadap terdakwa Zarof Ricar. Berdasarkan fakta persidangan, ditemukan perbedaan mencolok antara uang yang disita dan uang yang tercatat dalam berkas penyidikan. ”Ada uang Rp 1,2 triliun yang disita, tapi hanya Rp 915 miliar yang dilaporkan. Artinya, ada selisih Rp 285 miliar yang patut diduga digelapkan,” ujar Petrus Selestinus.

Selain itu, KOSMAK menuding adanya penyalahgunaan wewenang karena Jampidsus Febrie disebut hanya menjerat Zarof Ricar dengan pasal gratifikasi, bukan suap, meskipun tersangka mengaku menerima uang Rp 70 miliar dari Sugar Group Company melalui Purwanti Lee. ”Langkah itu diduga untuk melindungi pihak Sugar Group Company selaku terduga pemberi suap dan sejumlah  hakim agung, yakni Sunarto dkk sebagai terduga penerima suap,” urainya.

Petrus menambahkan, Jaksa Penuntut Umum di bawah arahan Febrie Adriansyah juga diduga tidak mencantumkan sejumlah barang bukti elektronik dalam berkas dakwaan. ”Barang bukti berupa ponsel dan laptop yang berisi data digital tidak dilampirkan. Ini bentuk upaya mengaburkan fakta hukum,” ujarnya.

Kasus Pertambangan dan Dugaan Pembiaran

Terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam tata kelola pertambangan batubara di Kalimantan Timur, KOSMAK menuding Kejaksaan Agung sengaja memperlambat proses penyidikan terhadap Sugianto alias Asun, yang disebut sebagai pelaku utama alias gembong penambangan ilegal di sana.

Kasusnya sedang disidik oleh penyidik Pidsus Kejagung, sejak 2 April 2024, sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan Nomor:Prin-19A/F.1.04/2024. Akan tetapi dengan dukungan lembaga intelijen tertentu, Sugianto alias Asun malah makin merajalela melanjutkan penambangan ilegal dengan merugikan negara sebesar Rp 10 triliun. Hingga kini, Asun tidak pernah ditangkap oleh jaksa penyidik.

KOSMAK juga meminta KPK menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Jampidsus Febrie Adriansyah. Lembaga ini menyoroti pembelian saham PT Tribhakti Inspektama senilai Rp 1 triliun melalui PT Parwita Permata Mulia, yang disebut menggunakan nama nominee Don Ritto dan Nurman Herin – dua kolega Febrie sesama alumnus Universitas Jambi.

Berdasarkan data Pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan atas nama Don Ritto dan Nurman Herin, dari nilai tabungan yang dimiliki pada PT Bank Mandiri, Tbk KCP Bandung Cibeunying, dengan nomor rekening: 131-00-0029127-0, keduanya  hanya memiliki kekayaan ratusan juta rupiah. ”Tidak mungkin secara finansial mampu membeli 15.040 lembar (96 persen) saham PT Tribhakti Inspektama, yang bernilai Rp 1 triliun,” ucap Ronald.

PT Parwita Permata Mulia, lanjutnya, beralamat sama dengan PT Hutama Indo Tara, perusahaan milik anak kedua Febrie Adriansyah, Kheysan Farrandie, di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.

Aset dan Investasi di Aceh

KOSMAK juga meminta KPK memeriksa sumber dana investasi sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembangunan pelabuhan dan jalan hauling batubara oleh PT Nagan Cipta Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat. Salah satu pemegang saham perusahaan itu adalah PT Blok Bulungan Bara Utama, yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan dipimpin oleh Jeffri Ardiatma dan Rangga Cipta, yang diduga masih kerabat Jampidsus Febrie.

”Dugaan keterlibatan keluarga dan nominee dalam berbagai perusahaan ini memperkuat indikasi adanya praktik pencucian uang,” kata Ronald.

Ronald Lobloby menyebut, laporan KOSMAK kepada KPK disertai dengan sejumlah dokumen, data keuangan, serta bukti kepemilikan aset yang diduga terkait dengan pejabat yang dilaporkan. ”Kami percaya, KPK masih punya keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada pejabat kebal hukum, termasuk di institusi penegak hukum itu sendiri,” tegasnya.

KOSMAK berencana mengawal proses pemeriksaan ini dan akan kembali mendatangi KPK dua pekan mendatang untuk meminta perkembangan hasil tindak lanjut laporan tersebut. Dihubungi terpisah, pihak Kejaksaan Agung belum memberikan tanggapan terkait aksi KOSMAK dan mahasiswa di Gedung KPK.