JAKARTA, TrijayaNews.id – Sejumlah pihak yang terafiliasi dengan gerakan koalisi pendukung bacapres Prabowo Subianto diketahui tengah melakukan uji materi untuk meminta usia minimal capres dan cawapres menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun merujuk pada UU Pemilu Pasal 169 huruf q.
Pengamat komunikasi politik M. Lukman berpendapat gugatan tersebut merupakan pragmatic play. Mengingat perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa sebagai pemohon, keduanya adalah kader Partai Gerindra.
“Pragmatic play yang memuat tendensi politik praktis di tengah kian menyempitnya batas masa pendaftaran capres-cawapres pada 19-25 Oktober 2023. Melahirkan apa yang disebut pragmatism by purpose yaitu serangkaian strategi untuk mengkondisikan kebenaran atas kemanfaatan umum sehingga hasilnya mampu memberi keuntungan maksimal bagi kepentingan orang atau sekelompok orang,” ungkap M. Lukman melalui keterangan tertulisnya, Rabu 27 September 2023.
Tidak hanya berasal dari 2 kader Partai Gerindra, uji materi juga diajukan oleh Partai Garuda diwakili Ketua Umum Ahmad Ridha Sabana dan Sekjen Yohanna Murtika sebagai pemohon dengan nomor perkara 51/PUU-XXI/2023. Seperti diketahui bersama, Partai Garuda adalah pendatang baru yang juga tergabung dalam partai koalisi pendukung Prabowo Subianto.
M. Lukman dengan keras mengkritik uji materi-uji materi yang dilayangkan ini. Pasalnya menurut dosen Universitas Bhayangkara ini perlu diteliti dengan jeli dan cermat terkait urgensi di balik uji materi yang dilayangkan ke MK, mengingat ada faktor kemendesakan jika merujuk pada penetapan masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 dilaksanakan pada 19-25 Oktober 2023. Namun, kurang dari sebulan menjelang penutupan capres-cawapres, Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan kapan membacakan putusan gugatan usia capres-cawapres.
“Apakah urgensi yang dimaksud adalah ‘kemendesakan’ bagi segolongan saja atau memang benar-benar merupakan urgensi bagi segenap bangsa Indonesia. Semisal dalam konteks Pilpres, Mahkamah Konstitusi atau MK saat ini menjadi infrastruktur hukum yang compatible untuk memuluskan kepentingan orang atau sekelompok orang yang menghendaki uji materi atas Pasal 169 huruf q. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” tegas M. Lukman.
Tidak hanya itu, ia pun menjelaskan bahwa jangan sampai seolah-olah para pihak yang berkepentingan dalam uji materi ini berselimut di balik kepentingan publik. Terlebih lagi dengan tenggat waktu yang sangat mendesak.
“Untuk menyamarkan kepentingan praktis dalam pragmatic play, maka asas kemaslahatan umum kerap ditempelkan sebagai ‘amunisi’ pembenarannya di hadapan publik. Senjata pamungkas pragmatism by purpose adalah dengan memprioritaskan ‘kemendesakan’ atau urgensi atas segala sesuatu, yang seolah-olah jika tidak terlaksana maka bisa berdampak merugikan, atau bahkan mematikan keberlangsungan bangsa dan negara,” pungkasnya.