BEIJING, TrijayaNews.id – Pandemi Covid-19 memberikan pukulan besar pada ekonomi global. Sejumlah negara seperti Singapura dan Korea Selatan sudah masuk resesi setelah perekonomian tumbuh negatif dua kuartal beruntun.
Kondisi tersebut tampaknya tidak akan terjadi pada China. Meski tertekan, ekonomi Negeri Tirai Bambu itu diperkirakan akan pulih di sisa tahun ini karena didorong oleh agresivitas pemerintah dalam menggelontorkan stimulus ekonomi.
Hasil jajak pendapat Reuters, yang dikutip Sabtu (25/7/2020), ekonomi terbesar kedua di dunia itu diperkirakan tumbuh 2,2 persen pada 2020, melambat dibandingkan 2019 yang tumbuh 6,1 persen. Angka itu merupakan median dari 42 ekonom yang disurvei. Prediksi tersebut lebih tinggi 1,8 persen dibandingkan jajak pendapat terakhir yang digelar April lalu.
Pada kuartal II-2020, ekonomi China tumbuh 3,2 persen usai negatif 6,8 persen pada kuartal I-2020 akibat pandemi. Analis memperingatkan keberlanjutan rebound sangat tergantung pada investasi meskipun konsumsi akan tetap lemah.
Menurut data resmi negara, Pendapatan yang Siap Dibelanjakan (Disposable Income) per kapita China turun 1,3 persen pada semester I-2020. Sektor manufaktur dan konstruksi pulih dengan cepat, namun sektor jasa masih tertinggal.
Ekspor terlihat mulai membaik, sebagian besar disebabkan oleh permintaan besar-besaran untuk peralatan medis oleh berbagai negara di belahan dunia.
“Namun kami masih melihat ketidakpastian pertumbuhan di waktu mendatang, seiring pelonggaran kebijakan lockdown yang tidak merata di negara lain, ini bisa saja menjadi kebijakan yang kurang menguntungkan,” ujar Analis Bank of America Merrill Lynch.
Membaiknya perekonomian, membuat Bank Sentral China (PBOC) menilai tak ada lagi kebutuhan mendesak untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Analis memperkirakan, China akan menurunkan suku bunga pinjaman satu tahun sebesar 10 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen pada akhir 2020. Sejak Agustus lalu, PBOC telah memotong suku bunga acuan sebesar 46 bps.